Sebuah pembunuhan terjadi di pesantren. Bukan hanya sekali. Namun
lima kali. Mulai dari kematian Ina di toilet, Butet yang ditemukan tak bernyawa
di dalam koper milik Sri, Yanti yang tiba-tiba menghilang dan ditemukan tewas
di sebuah sudut pemakaman pesantren, hingga kematian Gus, sang pendiri pesantren
impian, di kamarnya.
Tidak
seperti novel-novel sebelumnya yang mengangkat cerita tentang perempuan, cinta,
dan poligami. Kali ini, novel bunda Asma yang diangkat ke layar lebar lebih
mengedepankan sisi misteri. Awal cerita yang menegangkan, disusul beragam
konflik yang membuat penonton berspekulasi tentang apa yang sebenarnya terjadi
dan siapakah penyebab kekacauan semua ini?
Pesantren Impian, begitulah
nama tempat yang terletak di sebuah pulau yang jauh dari keramaian. Pesantren
impian bukanlah pesantren biasa, melainkan tempat orang-orang bermasalah untuk
dibina dan mendapatkan kesempatan hidup kedua. Beragam latar belakang kejahatan
atau kisah kelam santri ada di pesantren itu, mulai dari seorang pelacur
online, pembunuh, pengguna narkoba dan korban pemerkosaan.
Rabu
(16/03) giliran Cinema 21 Bogor Trade Mall (BTM) yang mendapat kesempatan untuk
nonton bareng Pesantren Impian bersama bunda Asma Nadia, Dinda Kanya Dewi, dan
Sita Nursanti. Antusiasme masyarakat cukup besar, sebab film ini memiliki daya
tarik tersendiri. Film tentang pembunuhan, namun tetap tak lepas dari
nilai-nilai kebaikan.
Film
ini diawali dengan terbunuhnya seorang laki-laki di sebuah kamar hotel. Meninggalkan
jejak-jejak misteri yang siap diungkap oleh seorang polwan bernama Dewi. Ia
menyelidiki kasus ini dan yakin mampu mengungkapnya dalam hitungan hari, dua
hari. Pesantren Impian adalah tujuannya. Sebab, seseorang yang ia duga sebagai
tersangka kasus pembunuhan hotel di Jakarta diketahui menjadi salah satu santri
di Pesantren Impian. Ia pun akhirnya pergi ke Pesantren Impian dengan mengganti
identitasnya menjadi, Enie.
Suasana mencekam terbangun dari awal
film ini dimulai. Ritmenya kian bertambah ketika terjadi pembunuhan demi
pembunuhan di pesantren. Meski, orang-orang yang dicurigai sebagai tersangka
pembunuhan telah ditahan, pembunuhan tetap terjadi. Klimaksnya adalah ketika
ustadzah Hanum ditemukan oleh Enie telah meninggal dunia dan terbungkus kain
kafan di kamarnya. Di titik ini, Enie merasa sangat gagal menjadi seorang
polisi.
Ia sempat frustasi untuk mengungkap
siapa pelaku kejahatan sebenarnya dan apa motifnya? Lalu, prediksinya mengarah
kepada Umar, penasihat Gus, sang pendiri pesantren, karena korban pembunuhan
meninggal dunia setelah bertemu Umar. Hingga Enie mengetahui satu kebenaran
yang tersembunyi bahwa pendiri pesantren yang sebenarnya adalah Umar. Dan itu
semua berkaitan dengan masa lalu Umar dan perempuan bernama Jane.
Saya belum pernah membaca Pesantren Impian
versi novelnya. Hingga saya tidak mengkomparasi apa yang saya tonton dengan apa
yang saya baca. Dan untuk ukuran seseorang yang belum membaca novelnya, saya
cukup menikmati film Pesantren Impian hingga selesai. Dan saya berharap, ada
sekuel kedua dari film ini.
Kenapa?
Karena saya merasa adanya misteri yang belum benar-benar terungkap dari film
ini yang menggantungkan tanya di benak saya. Dan saya merasa film ini memang
belum mencapai akhir cerita.
Saya
menjadi salah satu orang beruntung yang memiliki kesempatan mewawancarai bunda
Asma secara langsung. Kami berbicara cukup banyak. Dan disini saya ingin menceritakan
tentang film Pesantren Impian dan juga kisah dibaliknya.
Meski dihantam film Comic 8 Casino Kings
Part 2 dan Kungfu Panda, bunda Asma tetap bersyukur sebab Pesantren Impian masih
bertahan di kamis ketiga setelah pemutaran perdananya awal maret lalu. Baginya,
hal itu menunjukan apresiasi penikmat film terhadap film-film religi tanah air.
Bahwa ternyata masih banyak penonton yang bijak memilih film yang tak hanya menyajikan
sebuah tontonan yang menghibur namun juga tontonan yang menebar kebaikan dan
nilai.
Bagi bunda Asma, film bukan sekedar
barang dagangan. Amat sangat disayangkan sekali jika film hanya dijadikan
semata-mata untuk mengeruk keuntungan. Sebagai seorang penulis novel yang
karyanya diangkat ke layar lebar, bunda Asma cukup berperan dalam film-film
adaptasi novelnya. Mulai dari melihat sejauh mana perubahan yang terjadi pada
skenario, mengawal proses shooting, memberi masukan saat editing, hingga sampai
promosi filmnya.
“Film
bisa menjadi jembatan hidayah dan media syiar. Kalau dakwah di masjid,
orang-orang yang datang ke masjid adalah orang-orang yang di dalam dirinya
sudah memiliki gerakan. Tetapi dalam film, siapapun bisa menonton. Yang tidak
hanya disuguhkan hiburan, namun juga nilai-nilai kebaikan.”
Dalam film ini, meski genrenya
adalah thriller. Nilai-nilai kebaikan islam tetap terlihat dan terasa. Seperti dialog-dialog
antara ustadzah Hanum dan Enie yang membuat saya merenung. Tentang tugas dan
rasa rindu. Sejatinya, sekalipun mendapat
penyerangan teror dalam bentuk nyata, pesantren sebagai rumah kebaikan tetap
menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Tidak terganggu dengan hal-hal tersebut
meski ketakutan itu ada. Menjadi tempat bagi pribadi-pribadi yang ingin hijrah untuk mendapat kesempatan baru dalam hidup.
![]() |
ENI
Pesantren impian, tempat yang membuatnya sadar, dia membutuhkan Tuhan!
|
![]() |
INONG
Allah, tak bolehkah sang pendosa mencari pengampunan? Kesalahan teramat banyak untuk dihitung.
|
Filmnya bagus... good
BalasHapus